Kekayaan yang wajib di zakati
Jenis-jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan Alquran untuk dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut.
1. Emas dan Perak
Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, berilah kabar gembira dengan mendapatkan siksa yang pedih. Yakni, pada hari emas dan perak itu dipanaskan di neraka Jahannam kemudian diseterikakan ke kening, pinggang dan punggung mereka. 'Inilah harta yang kamu simpan-simpan buat dirimu.' Nah, rasakanlah hasil simpananmu itu." (At-Taubah: 34--35).
2. Tanaman dan Buah-buahan
Allah SWT tegaskan dalam Alquran, "... Makanlah sebagian buahnya bila berbuah dan bayarlah hak tanaman itu waktu menanamnya...." (Al-An'aam: 141).
3. Usaha, seperti Usaha Dagang, dan Lain-Lain
Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian yang baik dari penghasilanmu...." (Al-Baqarah: 267).
4. Barang-Barang Tambang yang Dikelurkan dari Perut Bumi
Allah berfirman, "...dan sebagian di antara yang Kami keluarkan dari perut bumi...." (Al-Baqarah: 267).
Selain dari yang disebutkan itu, Alquran hanya merumuskan apa yang wajib dizakati itu dengan rumusan yang sangat umum, yaitu dengan kata-kata "kekayaan", seperti firman-Nya:
"Ambillah olehmu zakat dari kekayaan mereka, engkau bersihkan dan engkau sucikan mereka dengannya." (At-Taubah: 103). Dan firman Allah SWT, "Di dalam kekayaan mereka terdapat hak peminta-peminta dan orang yang melarat." (Adz-Dzariyat: 19).
Apa sebenarnya yang dimaksudkan Alquran dan hadis dengan kekayaan itu? Kekayaan itu merupakan terjemahan dari bahasa Arab amwaal. Ia merupakan bentuk jamak dari kata maal. Menurut orang Arab yang dengan bahasanya Alquran itu diturunkan, kekayaan adalah segala sesuatu yang diinginkan manusia untuk disimpan dan dimilikinya. Dengan demikian, unta, sapi, kambing, tanah, kelapa, emas, dan perak adalah kekayaan. Oleh karena itu, ensiklopedi-ensiklopedi di Arab, mislanya al-Qamus al-Muhith dan Lisanul Arab, mengatakan bahwa kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki. Namun, orang-orang desa sering menghubungkannya dengan ternak, dan orang-orang kota sering menghubungkannya dengan emas dan perak (uang). Akan tetapi, semuanya adalah kekayaan. Adapun menurut ulama fikih, mereka berselisih mengenai arti dari kekayaan itu. Namun demikian, dari perbedaan pendapat itu yang kita pegang dalam masalah wajib zakat ini adalah sesuatu yang berwujud, dan itulah yang terkena kewajiban zakat.
Syarat-Syarat Kekayaan yang Wajib Dizakati
1. Milik Penuh
Maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya, atau seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli fikih: bahwa kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dia nikmati. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa seorang pedagang tidak wajib zakat apabila barang yang dibelinya belum sampai di tangannya atau barangnya sedang digadaikan kepada orang lain sampai barang itu kembali ke tangan pemiliknya.
Mengenai kekayaan yang bersumber dari barang yang haram, para ulama berpendapat bahwa seandainya suatu kekayaan yang kotor itu sampai senishab, zakat tidaklah wajib atas kekayaan itu. Karena, kekayaan itu harus dibebaskan dari tugasnya dengan mengembalikannya kepada yang berhak atau kepada ahli warisnya bila diketahui, tetapi bila tidak diketahui, diberikan kepada fakir miskin. Dalam hal ini, seluruh kekayaan itu harus disedekahkan, tidak sebagiannya saja. Rasullullah saw. bersabda mengenai hal ini: "Allah tidak akan menerima sedekah dari kekayaan ghulul." Ghulul adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum, seperti rampasan perang (ghanimah), dan lain-lain. Para ulama juga berpendapat bahwa menyedekahkan sesuatu yang haram tidaklah diterima, karena yang disedekahkan itu bukanlah milik orang yang menyedekahkannya, dan orang itu tidak sah melakukan sesuatu atas barang tersebut.
2. Berkembang
Maksudnya adalah kekayaan itu dikembangkan dengan sengaja atau mempunyai potensi untuk berkembang. Pengertian berkembang menurut bahasa sekarang adalah bahwa sifat kekayaan itu harus memberikan keuntungan ataupun pemasukan, sesuai dengan istilah-istilah yang dipergunakan oleh ahli-ahli perpajakan. Atau, kekayaan itu berkembang dengan sendiri, artinya bertambah dan menghasilkan produksi. Syarat kedua ini sengaja ditetapkan lantaran Nabi saw. tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi, sebagaimana ditegaskan beliau dalam sabdanya:
"Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya." (HR Muslim).
3. Sudah Sampai Satu Nisab
Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yang berkembang sekalipun kecil sekali, tetapi memberikan ketentuan sendiri yaitu sejumlah tertentu yang dalam ilmu fikih disebut nishab, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi saw. dalam masalah nishab harta yang wajib dizakati.
Hikmah adanya penentuan syarat ini adalah bahwa zakat merupakan pajak yang dikenakan (Allah dan Rasul-Nya) atas orang kaya untuk bantuan kepada orang miskin dan untuk berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu, zakat harus dipetik dari kekayaan yang mampu memikul kewajiban itu dan menjadi tidak ada artinya apabila orang miskin juga dikenakan pajak (zakat), sementara ia sangat memerlukan bantuan, bukan membantu. Sehingga, dari sini Nabi saw. bersabda, "Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya." (HR Bukhari secara mua'llaq dan Ahmad secara maushul).
4. Lebih dari Kebutuhan (Pokok)
Hal inilah yang menandai bahwa seseorang bisa disebut kaya dan menikmati kehidupan yang tergolong mewah apabila ia mempunyai harta yang melebihi dari kebutuhan pokok/rutin. Yang dikatakan di sini hanyalah "lebih dari kebutuhan pokok/rutin". Sebab, kebutuhan-kebutuhan manusia sesungguhnya sangat banyak dan tidak terbatas, terutama pada masa kita sekarang yang menganggap barang-barang mewah sebagai kebutuhan dan setiap kebutuhan berarti primer. Oleh karena itu, setiap yang diinginkan oleh manusia tidaklah bisa disebut sebagai kebutuhan rutin/pokok. Umumnya, sekalipun sudah mempunyai dua gunung emas, manusia akan tetap mencari tambahan segunung lagi. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kebutuhan rutin/pokok adalah sesuatu yang harus ada untuk ketahanan hidupnya, seperti makanan, pakaian, minuman, perumahan, dan alat-alat yang diperlukan untuk itu, seperti buku-buku ilmu pengetahuan dan keterampilan serta alat-alat kerja dan lain-lain.
5. Bebas dari Hutang
Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat dan harus lebih dari kebutuhan primer di atas haruslah pula cukup senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yang menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab itu, zakat tidaklah wajib.
Jumhurul ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat, atau paling tidak mengurangi ketentuan wajibnya, dalam kasus kekayaan tersimpan seperti uang dan harta perniagaan. Demikian juga pendapat Atha', Sulaiman bin Yasar, Hasan, Nakha'i, Laits, Malik, Tsauri, Auza'i, Ahmad , Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, dan kawan-kawannya. Hanya Rabi'ah, Hamad bin Sulaiman, dan Syafi'i dalam fatwa barunya menentangnya.
Tetapi, mengenai kekayaan yang kelihatan, seperti ternak dan hasil pertanian, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa hutang tidaklah menghalangi kekayaan yang wajib dizakati itu. Mereka membedakan kekayaan yang kelihatan dari kekayaan yang tidak kelihatan (tersimpan). Sebab, hubungan zakat lebih kuat kepada kekayaan yang kelihatan, karena lebih nyata dan lebih menggugah perasaan orang-orang miskin. Sebab itulah, datang ketentuan untuk mengirim petugas-petugas guna mengambil zakat kekayaan seperti itu dari pemiliknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.
6. Berlalu Setahun
Maksudnya adalah bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya sampai dua belas bulan Qamariyah. Persyaratan setahun ini hanya berlaku buat ternak, uang, dan harta perniagaan, yaitu kelompok harta yang dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat modal". Akan tetapi, hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia, harta karun, dan lain-lainnya yang sejenis tidaklah dipersyaratkan setahun, dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat pendapatan."
Dari Ibnu Umar r.a., Nabi saw. bersabda, "Tidak ada zakat atas kekayaan sehingga berlalu satu tahun." (HR Daruquthny dan Baihaqi). (Biko).
Referensi:
1. Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf Qaradhawi
2. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
Syarat-Syarat Kekayaan yang Wajib Dizakati
1. Milik Penuh
Maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya, atau seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli fikih: bahwa kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dia nikmati. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa seorang pedagang tidak wajib zakat apabila barang yang dibelinya belum sampai di tangannya atau barangnya sedang digadaikan kepada orang lain sampai barang itu kembali ke tangan pemiliknya.
Mengenai kekayaan yang bersumber dari barang yang haram, para ulama berpendapat bahwa seandainya suatu kekayaan yang kotor itu sampai senishab, zakat tidaklah wajib atas kekayaan itu. Karena, kekayaan itu harus dibebaskan dari tugasnya dengan mengembalikannya kepada yang berhak atau kepada ahli warisnya bila diketahui, tetapi bila tidak diketahui, diberikan kepada fakir miskin. Dalam hal ini, seluruh kekayaan itu harus disedekahkan, tidak sebagiannya saja. Rasullullah saw. bersabda mengenai hal ini: "Allah tidak akan menerima sedekah dari kekayaan ghulul." Ghulul adalah kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum, seperti rampasan perang (ghanimah), dan lain-lain. Para ulama juga berpendapat bahwa menyedekahkan sesuatu yang haram tidaklah diterima, karena yang disedekahkan itu bukanlah milik orang yang menyedekahkannya, dan orang itu tidak sah melakukan sesuatu atas barang tersebut.
2. Berkembang
Maksudnya adalah kekayaan itu dikembangkan dengan sengaja atau mempunyai potensi untuk berkembang. Pengertian berkembang menurut bahasa sekarang adalah bahwa sifat kekayaan itu harus memberikan keuntungan ataupun pemasukan, sesuai dengan istilah-istilah yang dipergunakan oleh ahli-ahli perpajakan. Atau, kekayaan itu berkembang dengan sendiri, artinya bertambah dan menghasilkan produksi. Syarat kedua ini sengaja ditetapkan lantaran Nabi saw. tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi, sebagaimana ditegaskan beliau dalam sabdanya:
"Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya." (HR Muslim).
3. Sudah Sampai Satu Nisab
Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yang berkembang sekalipun kecil sekali, tetapi memberikan ketentuan sendiri yaitu sejumlah tertentu yang dalam ilmu fikih disebut nishab, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi saw. dalam masalah nishab harta yang wajib dizakati.
Hikmah adanya penentuan syarat ini adalah bahwa zakat merupakan pajak yang dikenakan (Allah dan Rasul-Nya) atas orang kaya untuk bantuan kepada orang miskin dan untuk berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu, zakat harus dipetik dari kekayaan yang mampu memikul kewajiban itu dan menjadi tidak ada artinya apabila orang miskin juga dikenakan pajak (zakat), sementara ia sangat memerlukan bantuan, bukan membantu. Sehingga, dari sini Nabi saw. bersabda, "Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya." (HR Bukhari secara mua'llaq dan Ahmad secara maushul).
4. Lebih dari Kebutuhan (Pokok)
Hal inilah yang menandai bahwa seseorang bisa disebut kaya dan menikmati kehidupan yang tergolong mewah apabila ia mempunyai harta yang melebihi dari kebutuhan pokok/rutin. Yang dikatakan di sini hanyalah "lebih dari kebutuhan pokok/rutin". Sebab, kebutuhan-kebutuhan manusia sesungguhnya sangat banyak dan tidak terbatas, terutama pada masa kita sekarang yang menganggap barang-barang mewah sebagai kebutuhan dan setiap kebutuhan berarti primer. Oleh karena itu, setiap yang diinginkan oleh manusia tidaklah bisa disebut sebagai kebutuhan rutin/pokok. Umumnya, sekalipun sudah mempunyai dua gunung emas, manusia akan tetap mencari tambahan segunung lagi. Akan tetapi, yang dimaksud dengan kebutuhan rutin/pokok adalah sesuatu yang harus ada untuk ketahanan hidupnya, seperti makanan, pakaian, minuman, perumahan, dan alat-alat yang diperlukan untuk itu, seperti buku-buku ilmu pengetahuan dan keterampilan serta alat-alat kerja dan lain-lain.
5. Bebas dari Hutang
Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat dan harus lebih dari kebutuhan primer di atas haruslah pula cukup senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yang menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab itu, zakat tidaklah wajib.
Jumhurul ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat, atau paling tidak mengurangi ketentuan wajibnya, dalam kasus kekayaan tersimpan seperti uang dan harta perniagaan. Demikian juga pendapat Atha', Sulaiman bin Yasar, Hasan, Nakha'i, Laits, Malik, Tsauri, Auza'i, Ahmad , Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, dan kawan-kawannya. Hanya Rabi'ah, Hamad bin Sulaiman, dan Syafi'i dalam fatwa barunya menentangnya.
Tetapi, mengenai kekayaan yang kelihatan, seperti ternak dan hasil pertanian, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa hutang tidaklah menghalangi kekayaan yang wajib dizakati itu. Mereka membedakan kekayaan yang kelihatan dari kekayaan yang tidak kelihatan (tersimpan). Sebab, hubungan zakat lebih kuat kepada kekayaan yang kelihatan, karena lebih nyata dan lebih menggugah perasaan orang-orang miskin. Sebab itulah, datang ketentuan untuk mengirim petugas-petugas guna mengambil zakat kekayaan seperti itu dari pemiliknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.
6. Berlalu Setahun
Maksudnya adalah bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya sampai dua belas bulan Qamariyah. Persyaratan setahun ini hanya berlaku buat ternak, uang, dan harta perniagaan, yaitu kelompok harta yang dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat modal". Akan tetapi, hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia, harta karun, dan lain-lainnya yang sejenis tidaklah dipersyaratkan setahun, dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah "zakat pendapatan."
Dari Ibnu Umar r.a., Nabi saw. bersabda, "Tidak ada zakat atas kekayaan sehingga berlalu satu tahun." (HR Daruquthny dan Baihaqi). (Biko).
Referensi:
1. Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf Qaradhawi
2. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
|