Zakat Upah/Gaji yang Diterima di Muka
Mazhab Hanabilah dalam hal ini, dan dinukil oleh Al-Kasani dari Muhammad bin Al-Fadhal al-Bukhari, serta merupakan satu pendapat dari kalangan Asy-Syafiiyyah, "Sesungguhnya upah untuk beberapa tahun yang dibayar di muka, jika berlalu masa satu tahun (Hijriah), maka wajib dikeluarkan zakatnya dari keseluruhannya, karena dia telah memilikinya dengan penuh sejak transaksi berlaku. Dengan dalil bahwa ia boleh memperlakukan harta itu, walaupun barangkali akan terjadi utang atasnya dengan terjadinya pembatalan, misalnya."
Adapun menurut kalangan Malikiyyah menyebutkan bahwa tidak wajib zakat pada upah yang diterima di muka atas orang yang diupah, kecuali dia telah memilikinya secara penuh. Maka, jika dia mengupahkan dirinya untuk tiga tahun dengan bayaran enam puluh dinar, untuk setiap tahunnya dua puluh dinar. Dan, ia tidak memiliki apa-apa selain upah itu. Jika telah berlalu atasnya masa setahun, tidak wajib zakat atasnya. Karena, dua puluh dinar yang merupakan upah tahun pertama belum nyata menjadi miliknya, kecuali dengan habisnya masa satu tahun itu. Karena, upah itu selama masa setahun merupakan titipan padanya. Berarti ia belum memilikinya setahun penuh. Dan, jika telah berlalu tahun kedua, ia wajib menzakati yang dua puluh dinar itu, dan jika berlalu tahun ketiga, ia wajib menzakati yang empat puluh, kecuali yang telah berkurang karena zakat, dan jika telah berlalu tahun keempat, ia wajib menzakati semuanya.
Dalam suatu pendapat dari kalangan Malikiyyah dan suatu pendapat yang paling nyata dari kalangan Syafiiyyah menyebutkan bahwa tidak wajib zakat kecuali dari apa yang telah tetap menjadi miliknya, karena sesuatu yang belum tetap masih bisa gugur. Jadi, wajib menzakati dua puluh dinar pertama dengan berlalunya masa tahun pertama. Karena, sesuatu yang gaib (apakah ia memilikinya atau tidak) telah diketahui dengan telah memilikinya dari awal tahun. Maka, jika telah sempurna akhir tahun kedua, ia wajib mengeluarkan zakat dari dua puluh dinar untuk setahun, yaitu yang dizakatinya pada akhir tahun pertama. Serta zakat dua puluh untuk dua tahun, yaitu yang telah tetap menjadi miliknya sekarang. Demikianlah, dan kami tidak mendapatkan suatu tanggapan dari kalangan Hanafiyyah dalam masalah ini.
Zakat Harga yang Diterima di Muka dari Barang yang Belum Diserahkan
Jika seseorang membeli sesuatu dengan dirham yang mencapai nishab, atau ia mengadakan akad salam dengan harga sejumlah nishab, kemudian berlalu masa setahun sedangkan pembelinya belum menerima barangnya, dan transaksi masih berlaku tidak dibatalkan, maka kalangan Hanabilah berpendapat bahwa zakatnya wajib atas si penjual karena telah menjadi milik tetapnya. Kemudian, jika transaksi dibatalkan karena rusaknya barang, atau barangnya tidak bisa diserahkan, wajib mengembalikan seluruh harga itu secara utuh.
Kalangan Syafiiyyah secara nyata menyatakan pendapat yang berdekatan dengan itu, yaitu bahwa barang yang dibeli jika telah berlalu atasnya masa setahun sejak berlakunya transaksi, maka wajib atas pembeli menzakatinya walaupun ia belum menerimanya.
Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait
Adapun menurut kalangan Malikiyyah menyebutkan bahwa tidak wajib zakat pada upah yang diterima di muka atas orang yang diupah, kecuali dia telah memilikinya secara penuh. Maka, jika dia mengupahkan dirinya untuk tiga tahun dengan bayaran enam puluh dinar, untuk setiap tahunnya dua puluh dinar. Dan, ia tidak memiliki apa-apa selain upah itu. Jika telah berlalu atasnya masa setahun, tidak wajib zakat atasnya. Karena, dua puluh dinar yang merupakan upah tahun pertama belum nyata menjadi miliknya, kecuali dengan habisnya masa satu tahun itu. Karena, upah itu selama masa setahun merupakan titipan padanya. Berarti ia belum memilikinya setahun penuh. Dan, jika telah berlalu tahun kedua, ia wajib menzakati yang dua puluh dinar itu, dan jika berlalu tahun ketiga, ia wajib menzakati yang empat puluh, kecuali yang telah berkurang karena zakat, dan jika telah berlalu tahun keempat, ia wajib menzakati semuanya.
Dalam suatu pendapat dari kalangan Malikiyyah dan suatu pendapat yang paling nyata dari kalangan Syafiiyyah menyebutkan bahwa tidak wajib zakat kecuali dari apa yang telah tetap menjadi miliknya, karena sesuatu yang belum tetap masih bisa gugur. Jadi, wajib menzakati dua puluh dinar pertama dengan berlalunya masa tahun pertama. Karena, sesuatu yang gaib (apakah ia memilikinya atau tidak) telah diketahui dengan telah memilikinya dari awal tahun. Maka, jika telah sempurna akhir tahun kedua, ia wajib mengeluarkan zakat dari dua puluh dinar untuk setahun, yaitu yang dizakatinya pada akhir tahun pertama. Serta zakat dua puluh untuk dua tahun, yaitu yang telah tetap menjadi miliknya sekarang. Demikianlah, dan kami tidak mendapatkan suatu tanggapan dari kalangan Hanafiyyah dalam masalah ini.
Zakat Harga yang Diterima di Muka dari Barang yang Belum Diserahkan
Jika seseorang membeli sesuatu dengan dirham yang mencapai nishab, atau ia mengadakan akad salam dengan harga sejumlah nishab, kemudian berlalu masa setahun sedangkan pembelinya belum menerima barangnya, dan transaksi masih berlaku tidak dibatalkan, maka kalangan Hanabilah berpendapat bahwa zakatnya wajib atas si penjual karena telah menjadi milik tetapnya. Kemudian, jika transaksi dibatalkan karena rusaknya barang, atau barangnya tidak bisa diserahkan, wajib mengembalikan seluruh harga itu secara utuh.
Kalangan Syafiiyyah secara nyata menyatakan pendapat yang berdekatan dengan itu, yaitu bahwa barang yang dibeli jika telah berlalu atasnya masa setahun sejak berlakunya transaksi, maka wajib atas pembeli menzakatinya walaupun ia belum menerimanya.
Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait
|