AHLAN WA SAHLAN Selamat Datang di blog SantriChannel, yang menyajikan Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ke-santri-an, bernuansa Islami berisikan Hikmah Al-qur'an dan Mutiara Hadits, semoga Blog yang sederhana ini dapat memberikan peningkatan ketaqwaan, kesejukan hati dan ketentraman jiwa, serta menjaga silaturrahmi kita yang tidak pernah terputus. Agar kita benar-benar dapat melakoni apa yang ditetapkan dan disarankan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Kelangsungan Dakwah kami ini beriringan dengan channel #santri di server mIRC DALnet.

Kamis, 15 November 2007

Harta yang Diperoleh dalam Perjalanan Tahun

Jika seorang mukallaf (orang yang dibebani syariat) tidak memiliki harta kemudian dia memperoleh harta zakat yang tidak mencapai nishab, maka tidak wajib zakat padanya dan tidak dihitung haulnya. Jika telah mencapai nishab, perhitungan tahunnya dimulai sejak hari ia mencapai nishab, dan wajib atasnya mengeluarkan zakatnya jika harta itu tetap ada padanya sampai berlalunya masa setahun.

Jika dia memiliki harta senishab, kemudian sebelum berlalu setahun dia memperoleh harta sejenis dengan harta nishab itu atau dari jenis yang digabungkan padanya, dalam hal ini ada tiga pembagian.
  1. Tambahan itu merupakan hasil dari harta pertama, seperti laba perniagaan, hasil dari ternak yang digembalakan, maka ini dikeluarkan zakatnya bersama dengan aslinya ketika genap setahun. Ibnu Quddama berkata, "Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal itu, karena tambahan itu mengikuti jenis aslinya, jadi sama dengan harta yang tumbuh berkesinambungan."
  2. Harta tambahan itu bukan dari jenis harta zakat yang ada padanya seperti jika ia memiliki onta kemudian dia memperoleh emas atau perak. Maka harta tambahan ini tidak dikeluarkan zakatnya ketika harta aslinya mencapai haul. Tetapi, haulnya mulai dihitung sejak hari ia memperolehnya jika mencapai nishab. Ini disepakati, kecuali suatu pendapat ganjil yang mengatakan bahwa wajib menzakatinya ketika ia mendapatkannya. Tidak seorang pun ulama atau imam-imam fatwa yang condong pada pendapat ini.
  3. Ia memperoleh harta tambahan itu berupa jenis harta nishab yang ada padanya ketika telah sempurna haul yang pertama, tetapi tambahan itu bukan berasal dari harta pertama. Seperti, jika ia memiliki dua puluh misqal emas pada awal Muharam, lalu pada awal Zulhijah ia memperoleh emas seribu misqal. Ulama berselsih pendapat dalam hal ini.

Kalangan Asy-Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa itu digabungkan secara nishab tidak secara haul. Jadi, ia mengeluarkan zakat harta yang pertama ketika sampai haulnya pada awal Muharam berikutnya, dan mengeluarkan zakat yang kedua ketika sampai haulnya pada awal Zulhijah berikutnya walaupun kurang dari nishab, karena harta kedua mencapai nishab dengan digabung dengan harta pertama. Mereka berdalil dengan keumuman sabda Rasulullah saw. yang artinya, "Tidak wajib zakat pada suatu harta hingga berlalu atasnya satu haul." Dan, sabda beliau, "Barangsiapa memperoleh suatu harta, maka tidak wajib padanya zakat hingga berada pada pemiliknya selama setahun."

Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa setiap harta yang diperoleh dalam masa setahun itu digabungkan pada nishab yang ada padanya dan dizakatkan semuanya ketika sampai haul harta yang pertama. Mereka mengatakan bahwa karena ia digabungkan dengan jenisnya dalam nishab, wajib digabungkan juga dalam haul sebagaimana nishab, dan karena nishab adalah sebab dan haul adalah syarat, jadi jika digabungkan nishabnya yang merupakan sebab, penggabungannya pada haul lebih utama. Dan, karena memisahkan masing-masing menyebabkan pemisahan kewajiban dalam binatang ternak yang digembalakan serta perbedaan waktu kewajiban, dan membutuhkan penentuan waktu memiliki yang tepat serta wajib menghitung kadar yang sedikit yang tidak mungkin dikeluarkan, ini merupakan suatu hal yang sulit dan membebani, padahal haul itu disyariatkan untuk memudahkan, Allah Taala telah berfirman yang artinya, 'Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78). Dan, berdasarkan kiyas pada hasil ternak dan laba perniagaan.

Abu Hanifah mengecualikan tambahan yang merupakan harga dari suatu harta yang telah dizakatkan, maka tidak digabungkan agar tidak terjadi pengulangan.

Kalangan Malikiyyah dalam hal ini harus ada pemisahan antara binatang ternak dengan emas dan perak atau uang. Pendapat mereka tentang binatang ternak sama dengan pendapat Abu Hanifah, karena zakatnya diwakilkan pada petugas pemungut zakat. Kalau tidak digabungkan, hal itu akan menyebabkan pengeluaran zakatnya lebih dari sekali. Berbeda dengan harga (uang atau emas dsj.) karena zakatnya disandarkan pada pemiliknya.

Sumber: Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait


Copyright © 2007. santridalnet@crew. All rights reserved. Hak Cipta DiLindungi Allah Azza Wa Jalla Yang Maha Kuasa